Disabilitas intelektual (DI) atau yang biasa disebut dengan tunagrahita merupakan gangguan dengan onset selama masa perkembangan yang diikuti oleh kurangnya kemampuan intelektual, fungsi adaptif dalam konseptual, sosial, serta keterampilan praktis (American Psychiantric Association). Secara sederhana DI adalah kurangnya fungsi intelektual dalam hal penalaran atau pemikiran sehingga terdapat kognitif terhambat yang memengaruhi emosi, perilaku sosial dan kepribadian.
Terdapat beberapa faktor penyebab remaja dapat mengalami DI, baik itu dari segi keturunan, keracunan obat saat hamil, merokok saat hamil, kekurangan nutrisi saat kehamilan, virus (rubella atau toxo) maupun strees saat hamil. Ada empat jenis klasifikasi anak DI ini, yaitu ringan (IQ 50-69), sedang (IQ 35-49), berat (IQ 20-34), sangat berat (IQ <20 serta tidak memiliki kemampuan untuk merawat diri).
Secara pertumbuhan fisik, anak DI memiliki pertumbuhan yang sama dengan anak pada umumnya, baik itu perkembangan tinggi badan maupun perkembangan organ reproduksi. Akan tetapi, secara perkembangan psikologis terdapat perbedaan, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan fungsi intelektual serta perilaku adaptif.
Perlu kita ketahui bahwa anak DI juga memiliki dorongan biologis dalam tubuhnya. Secara harfiah mereka juga punya hasrat seksualitas sama seperti manusia pada umumnya. Akan tetapi karena kurangnya fungsi intelektual dan perilaku adaptif tersebut membuat mereka tidak bisa mengontrol libido tersebut. Oleh sebab itu, perlu adanya edukasi yang tepat dan cukup untuk mencegah adanya masalah-masalah mengenai seksualitas dan reproduksi bagi mereka. Pertanyaan yang muncul mengapa anak DI harus paham tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS)? Bagaimana cara menyampaikannya, sementara mereka mengalami keterbatasan intelektual dan perilaku adaptif?
Ungaran – PILAR PKBI Jawa Tengah selama tiga hari mengadakan pelatihan bagi guru mengenai PKRS bagi remaja disabilitas intelektual di Hotel C3 Ungaran. Kegiatan ini berlangsung mulai tanggal 23 hingga 25 Juli 2019. Sebanyak 12 orang terlibat dalam kegiatan ini, yakni Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang (5), SLBN Ungaran (3), perwakilan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah (2) serta Dinas Kesehatan Kota (1) dan Kabupaten Semarang (1).
PILAR perlu mengadakan pelatihan tersebut bagi guru-guru SLB agar dapat mencegah adanya masalah-masalah mengenai seksualitas dan reproduksi, baik itu pelecehan seksual maupun penyakit menular seksual (PMS).
“PKRS bagi remaja dengan DI harus menggunakan pendekatan yang berbeda. Pendekatan harus berdasarkan kebutuhan individu masing-masing (metode dan alat peraga)”, ungkap fasilitator pelatihan Admila Rosada, M.Psi. Ia juga menambahkan bahwa remaja DI memiliki keterbatasan signifikan dalam perilaku adaptif yang ditunjukkan melalui kemampuan konseptual, sosial, dan praktis.
Admila menjelaskan bahwa terdapat tiga lingkungan yang mengelilingi remaja DI. Yang pertama yaitu mikrosystem (keluarga), mesosystem (lingkungan kedua setelah rumah: sekolah), dan mekro system (masyarakat beserta nilai-nilainya). Oleh sebab itu mereka perlu diperkenalkan dengan perlindungan dirinya. Akan tetapi perlindungan tersebut membutuhkan bantuan di semu lingkup, karena saat ini tak jarang pelecehan seksual dilakukan oleh keluarga sendiri.
Ungaran – PILAR PKBI Jawa Tengah selama tiga hari mengadakan pelatihan bagi guru mengenai PKRS bagi remaja disabilitas intelektual di Hotel C3 Ungaran. Kegiatan ini berlangsung mulai tanggal 23 hingga 25 Juli 2019. Sebanyak 12 orang terlibat dalam kegiatan ini, yakni Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang (5), SLBN Ungaran (3), perwakilan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah (2) serta Dinas Kesehatan Kota (1) dan Kabupaten Semarang (1).
PILAR perlu mengadakan pelatihan tersebut bagi guru-guru SLB agar dapat mencegah adanya masalah-masalah mengenai seksualitas dan reproduksi, baik itu pelecehan seksual maupun penyakit menular seksual (PMS).
“PKRS bagi remaja dengan DI harus menggunakan pendekatan yang berbeda. Pendekatan harus berdasarkan kebutuhan individu masing-masing (metode dan alat peraga)”, ungkap fasilitator pelatihan Admila Rosada, M.Psi. Ia juga menambahkan bahwa remaja DI memiliki keterbatasan signifikan dalam perilaku adaptif yang ditunjukkan melalui kemampuan konseptual, sosial, dan praktis.
Admila menjelaskan bahwa terdapat tiga lingkungan yang mengelilingi remaja DI. Yang pertama yaitu mikrosystem (keluarga), mesosystem (lingkungan kedua setelah rumah: sekolah), dan mekro system (masyarakat beserta nilai-nilainya). Oleh sebab itu mereka perlu diperkenalkan dengan perlindungan dirinya. Akan tetapi perlindungan tersebut membutuhkan bantuan di semu lingkup, karena saat ini tak jarang pelecehan seksual dilakukan oleh keluarga sendiri.
Sebelum menyampaikan PKRS kepada remaja DI, kita harus menyelesaikan dulu permasalahan nilai kita. Kita harus memantapkan diri dulu bahwa PKRS bukanlah sesuatu yang tabu. Kalau sudah barulah kita dapat menyampaikan pengetahuan yang diimbangi dengan nilai atau value. Hal penting lain yang harus kita siapkan adalah komitmen (baik itu dari guru maupun orangtua).
Mengenai penyampaian materi PKRS kepada remaja DI, karena terdapat keterbelakangan kognitif perlu dilakukam penyederhanaan bahasa dalam menyampaikan konsep nilai agar mudah dipahami. Penyampaian konsep nilai tersebutpun harus dilakukan dengan konsisten, misalnya memberi pengetahuan buang air harus di toilet harus dilakukan secara rutin supaya mereka bisa terbiasa. Selanjutnya kita dapat menciptakan suasana nyaman dengan menjaga kehormatan mereka.
Hal terpenting bahwa PKRS bagi remaja dengan DI menggunakan pendekatan yang berbeda dari remaja pada umumnya. Pendekatan harus berdasarkan kebutuhan individu masing-masing.
Reporter: Muhammad Ali Said
Editor: Rosta Rosalina