Kontribusi Budaya dalam Ketidakadilan Gender

Oleh Lia Oktafiyani K (Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)

Mungkin istilah kata gender sudah tidak asing lagi bagi kita. Apa sih gender itu? Dan apa hubungannya dengan kebudayaan terutama kebudayaan Jawa? Naahh, disini kita akan bahas apa itu gender dan ketidakadilan gender yang biasa yang mengandung unsur budaya.

Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjadi menunjukan pembedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya dalam hal nilai, peran maupun yang dibentuk secara sosial. Terbentuknya gender ini dipengaruhi oleh tempat, waktu, suku/ras, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.

Konsep gender dalam kehidupan sehari-hari sangat erat sekali dengan kita, karena di masyarakat sendiri terdapat pembagian peran, sifat, dan juga posisi antara perempuan dan laki-laki. Dimana hal tersebut yang menyebabkan ketidakadilan gender baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Lalu apa hubungannya dengan budaya, terutama budaya Jawa?

Dalam budaya Jawa banyak istilah-istilah yang mendudukkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Dan istilah itu sudah tertanam dalam hati masyarakat sehingga dimaklumi dan diterima begitu saja. Kita ambil saja contohnya, dalam istilah Jawa ada menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking, apa itu artinya?

Kanca wingking itu artinya ‘teman belakang’, sebagai teman dalam mengelola urusan rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak, mencuci dan lain-lain. Ada lagi istilah lain suwarga nunut neraka katut. Istilah itu juga diperuntukan bagi para istri, bahwa suami adalah yang menentukan istri akan masuk surga, tetapi kalau suami masuk neraka, walaupun istri berhak untuk masuk surga karena amal perbuatan yang baik, tetapi tidak berhak bagi istri untuk masuk surga karena harus katut atau mengikuti suami masuk neraka.

Ada lagi istilah lain yang sering kita dengar bahwa perempuan itu harus bisa macak, manak, masak. Macak itu artinya bahwa seseorang itu harus bisa berdandan, manak artinya seorang istri harus bisa memberi keturunan, dan masak artinya istri harus bisa memasak untuk suaminya. Dan ada istilah lain lagi yang dilekatkan kepada perempuan seperti dapur, pupur (bedak dalam bahasa Jawa), kasur, sumur.

Ketidakadilan gender ini dikonstruksi melalui adanya aturan hukum formal dan norma-norma tidak yang tertulis. Aturan hukum formal yang membuat ideologi resmi berlaku pada masyarakat dan institusi, sedangkan norma-norma yang tidak tertulis yang dipahami membentuk sikap dan perilaku sehari-hari dalam dunia nyata.

Itu artinya bahwa budaya Jawa yang sekarang diyakini oleh masyarakat bahwa perempuan harus menjadi seperti istilah-istilah di atas. Hal ini menjadi sebuah stigma yang mana menjadikan seorang perempuan tidak bebas dari nilai tersebut yang menjadi anutan. Serta ukuran menjadi perempuan baik menurut orang Jawa adalah adanya nilai-nilai tersebut pada sikap dan sifat perempuan tersebut. Semua ini adalah bentuk dari ketidakadilan gender.

Padahal seiring dengan perkembangan zaman, perempuan sudah banyak yang melakukan emansipasi dengan berkarir, bekerja, dan mengekspresikan diri. Maka dari itu untuk menghapus ketidakadilan gender untuk masa kini dan masa depan harus dimulai dari kita sendiri. Bagaimana caranya? Tentunya dengan mengoptimalkan potensi diri sehingga kita bisa membuktikan bahwa baik perempuan dan laki-laki dapat berperan dan memberi manfaat bagi sekeliling.

Disunting oleh Nur Wulan Nugrahani

Leave A Comment