Sonia Okta Alfira (Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)
Guys? Gimana nih dengan artikel yang udah keliatan banget dari judulnya kok ngomongin soal nikah? Hehe. Udah siap belum hayo? So guys, sebelum kalian memutuskan untuk menikah pahamin betul apa yang perlu disiapkan yah untuk menjadi seorang suami istri bahkan nantinya menjadi seorang bapak dan ibu loh. Pastinya, di antara laki-laki maupun perempuan yang ingin menikah harus menyiapkan diri sendiri dengan sebaik mungkin, memahami karakter pasangan satu sama lain dan siap dalam segi sosial maupun ekonomi dong guys.
Oke guys yuk kita pahamin ya, jadi disini ada beberapa hal yang akan disampaikan mengenai pernikahan pada usia muda. Wowwww….
Tapi guys, sebenarnya pernikahan usia muda sebenarnya tidak dikenal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang lebih populer ialah pernikahan di bawah umur, yang juga terdapat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). Tujuan dari sebuah perkawinan sendiri ialah menjaga keturunan dari perkawinan yang sah, anak-anak akan mengenal ibu, bapak dan nenek moyangnya. Mereka merasa tenang dan damai di dalam masyarakat, sebab keturunan mereka jelas dan masyarakat pun tidak memunculkan rasa curiga kepada anggota mereka. Pembentukan keluarga yang sejahtera yaitu seseorang yang menikah dituntut adanya sikap dewasa dari masing-masing suami istri. Oleh karena itu persyaratan bagi suatu pernikahan yang bertujuan mewujudkan keluarga bahagia, sejahtera dan kekal adalah usia yang cukup dewasa pula.
Namun banyak juga yah berita yang mengabarkan pernikahan di bawah umur. Memang apa sih yang mendorong seorang laki-laki dan perempuan untuk menikah pada usia muda dan bisa dikatakan umurnya belum cukup? Nah, biasanya sih ya guys hal yang dapat mendorong terjadinya pernikahan di bawah umur, ialah faktor lemahnya sosial ekonomi yang merupakan faktor yang dominan. Jika anak yang putus sekolah di kalangan keluarga yang ekonominya lemah, umumnya disebabkan oleh faktor biaya, dorongan “cepat kawin” semakin kuat. Sosial dan ekonomi merupakan dua hal yang saling berhubungan dalam kehidupan bermasyarakat, akan tetapi kedua hal tersebut memiliki konsep yang berbeda. Dalam hubungannya dengan perkawinan usia dini untuk melihat bagaimana kondisi sosial dan ekonomi keluarga yang menikah pada usia dini, maka kedua hal tersebut akan saling berkaitan. Menurut Melly G.Tan, kedudukan sosial ekonomi seseorang dapat dilihat dari pekerjaan, penghasilan, pendidikan. Berdasarkan ketiga hal tersebut, masyarakat dapat digolongkan dalam kedudukan sosial ekonomi tinggi, sedang, dan rendah.
Lalu, BKKBN pernah menyebutkan di kanal Instagram-nya terkait kriteria siap menikah bagi perempuan. Kriteria-kriteria itu adalah berusia lebih dari 21 tahun, memiliki kemampuan mendidik anak, menjadi perempuan yang penuh pengertian, menjadi wanita yang telaten dan sabar, mampu menjadi wanita yang fleksibel, mampu memasak makanan favorit calon suami, mampu menerima calon suami apa adanya, mampu meningkatkan produktivitas agenda harian calon suami, mampu berkata jujur tentang apapun kepada calon suami dan mampu menjadi wanita mandiri. Sedangkan untuk laki-laki harus mencapai usia 19 tahun, mampu bertanggungjawab nantinya untuk kehidupan keperluan sehari-harinya, menyayangi calon istri dan keluarga, tidak memperlakukan kekerasan fisik bahkan seksual.
Waduh, kok lebih banyak kriteria untuk perempuan yah daripada laki-laki? Lalu, apakah kalau perempuan tidak bisa memasak makanan favorit calon suami berarti tidak idaman? Kenapa laki-laki tidak ada syarat untuk memasak makanan favorit calon istri? Padahal memasak itu tidak mengenal perempuan dan laki-laki. Memasak adalah kemampuan untuk bertahan hidup, ya gak sih guys?
Lalu bayangkan deh kalau hal ini terjadi pada remaja di bawah umur? Dengan fisik dan mental yang belum cukup dewasa, tapi dengan ketidakadilan gender seperti ini akan rawan menimbulkan gesekan pada rumah tangga. Pernikahan di bawah umur juga mempunyai dampak kelanjutan terhadap kehidupan keluarganya. Dampak yang akan ditimbulkan dari pernikahan di bawah umur yaitu:
Pertama, melahirkan keturunan yang lemah, selain hal itu juga banyak mereka yang sudah mempunyai anak tidak menyadari pentingnya kesehatan bagi anak, dimana banyak sekali dari anak mereka yang jarang diimunisasi setiap ada posyandu. Itupun ada sebagian yang membawa anaknya ke posyandu untuk diimunisasi sekali dua kali tapi mereka tidak tahu apa manfaat diimunisasi. Hal ini akibat dari pengetahuan mereka tentang kesehatan yang masih kurang.
Kedua, akan menimbulkan berbagai persoalan rumah tangga seperti pertengkaran, percekcokan, bentrokan antar suami istri yang dapat mengakibatkan perceraian. Dampak terhadap masing-masing keluarga yaitu apabila pernikahan di antara mereka lancar mereka ikut senang dan bahagia. Namun apabila kebalikannya dari pernikahan mereka mengalami kegagalan, maka mereka akan merasa sedih dan kecewa akan keadaan rumah tangga anak-anaknya. Dari kegagalan pernikahan mereka tersebut tidak menutup kemungkinan silaturahmi di antara keluarga tersebut akan terputus, bahkan tidak jarang perempuan yang menikah di usia yang lebih muda seringkali mengalami kekerasan pada rumah tangganya. Anak perempuan yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga cenderung tidak melakukan perlawanan, sebagai akibatnya mereka pun tidak mendapat pemenuhan rasa aman baik di bidang sosial maupun finansial.
Ketiga, pernikahan dibawah umur seringkali menyebabkan anak putus bersekolah, karena mempunyai tanggung jawab baru, yaitu sebagai istri dan calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang diharapkan berperan lebih banyak mengurus rumah tangga maupun menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah.
By the way guys dari yang sudah dibahas di atas, ada beberapa kasus yang berkaitan dan kemungkinan tidak asing lagi di telinga kita. Nah apa kasus itu ya? Jadi, kasus ini adalah pernikahan d ibawah umur sekaligus perkawinan siri yang terjadi pada tahun 2008, antara Syekh Pujiono (48 tahun) pengusaha yang sukses di bidang kaligrafi di Jawa Tengah dengan Ulfa Lutviana (12 tahun) santriwati dari pondok pesantren yang dipimpin oleh Syekh Pujiono. Sampai sekarang perkawinan tersebut masih berlangsung walaupun Syekh Pujiono telah dijerat oleh Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 pasal 280 KUHP bahkan telah dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun, dan mertuanya Suharso dijatuhi hukuman penjara dua tahun.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mencegah atau meminimalisir pernikahan pada usia muda yaitu:
Pertama, sosialisasi dan edukasi bagi para remaja dan calon pasangan yang belum kawin atau akan menikah bahkan juga ke orangtua.
Kedua, memberdayakan Kantor Urusan Agama (KUA) untuk melakukan fungsi pengawasan. Cara ini layak diterapkan untuk memantau warga yang menikah supaya tercatat di Kantor Urusan Agama.
Ketiga, perlu efektivitas kerja sama dengan berbagai pihak, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), misalnya PILAR PKBI JAWA TENGAH ya guys… juga organisasi perempuan dan pemerintahan supaya melakukan koordinasi mencegah pernikahan di bawah umur.
Kita masih muda dan banyak potensi yang perlu ditempa. Pikir-pikir dengan matang yah guys sebelum mengambil keputusan penting seperti ini. Yuk jadi remaja yang cemerlang dan powerful!
Referensi:
Koro, A. 2012. Perlindungan Anak di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda dan Perkawinan Siri. Bandung: PT. Alumni.
Primastika, Widia. 2019. Bias Gender di Instagram BKKBN, Mau Nikah Pria pun Harus Siap Diri. Dalam https://tirto.id/bias-gender-di-instagram-bkkbn-mau-nikah-pria-pun-harus-siap-diri-d9db. Diakses pada tanggal 20 Januari 2019 pukul 11.55 WIB.
Disunting oleh Nur Wulan Nugrahani