Zunari Hamroh | Mahasiswa Universitas Negeri Semarang
Memasuki kondisi epidemic Covid-19 merupakan virus yang menyerang sistem pernapasan dengan gejala demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan, sesak napas, letih, dan lesu. Pada kasus berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, hingga kematian yang penyebarannya melalui udara dan kontak langsung dengan penderita (Kompas, 23 Januari 2020).
Kemunculan wabah ini membuat geger dan panic semua elemen di masyarakat karena penyebaran yang cepat dan tak terkendali ditambah dengan virus ini cukup berbahaya bahkan WHO sebagai Badan Kesehatan Dunia menilai risiko akibat virus tersebut termasuk kategori tinggi di tingkat global dan menetapkan status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) sejak tanggal 30 Januari 2020.
Kasus Covid-19 berkembang dengan cepat dan telah menyebar di beberapa negara lainnya. Data terbaru yang dikeluarkan Johns Hopkins University Baltimore, Amerika Serikat hingga pada tanggal 9/4 menyebutkan total jumlah penyebaran kasus virus covid 19 telah mencapai 1.483.323 dan total kematian mencapai 88.301 dari 200 negara (bbc Indonesia 9/4). Sedangkan di Indonesia, kasus korban yang terjangkit virus covid-19 makin bertambah, berdasarkan data terbaru dalam website resmi https://infeksiemerging.kemkes.go.id/, Kementrian Kesehatan yang terhitung hingga pada tanggal 9 April 2020 perihal persebaran virus covid 19 menyebar ke 32 provinsi di Indonesia. Provinsi dengan kasus terbanyak adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Jawa Tengah dengan total kasus terjangkit 3.293, pasien sembuh berjumlah total 252 dan pasien meninggal berjumlah 280 (Kemenkes, 9 April 2020).
Sehingga menanggapi fenomenal tersebut, pemerintah melakukan sejumlah kebijakan dan langkah untuk mencegah Virus Covid-19 menyebar lebih luas, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, pihaknya bersama Kementerian Kesehatan tengah membahas Peraturan Pemerintah (PP) terkait Karantina Wilayah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dijelaskan terdapat empat jenis karantina, yakni karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Luas (PSBB) (Liputan 6,31 Maret 2020).
Lanjutnya, Presiden Jokowi kembali memastikan, pemerintah tetap berpegang kepada status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), bukan karantina wilayah atau lockdown. Penjelasan Berdasarkan Undang Undang No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, PSBB merupakan respons dari status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Seperti tertuang dalam Pasal 1 ayat 2: Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Sementara, Pasal 1 ayat 11 menjelaskan:Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Selanjutnya dalam Pasal 59 ayat 1 dijelaskan: PSBB baru bisa dilaksanakan setelah ada status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. (bbc Indonesia, 1 April 2020).
Kebijakan diatas ternyata secara tidak langsung memberikan dampak pada kesehatan mental berupa stress karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilakukan. Lebih lanjutnya, Pandemi COVID-19 tak cuma memengaruhi kesehatan mental masyarakat umum. Kebijakan pembatasan fisik membikin banyak orang harus beraktivitas tak sebagaimana biasa. Akibat “dirumahkan” banyak masyarakat mulai merasakan penat. Di tingkat kelompok yang lebih tua, kebijakan ini juga berdampak pada penurunan kognitif/demensia, menjadikan mereka lebih mudah cemas, marah, stres, dan gelisah (Tirto, 31 Maret 2020).
Stress dan rasa tertekan tersebut berdampak pada kesehatan reproduksi terutama siklus haid perempuan menjadi tidak teratur. Dilansir dari suara.com, Dokter kesehatan keperawatan sekaligus penulis sains, Sarah Toler menyatakan bahwa stress bisa melepaskan hormone tertentu pada tubuh, termasuk kartisol, kelebihan pelepasan hormone tertentu pada tubuh, termasuk pelepasan kartisol yang berlebihan dapat menekan kadar hormone reproduksi yang normal sehingga dapat berpotensi menyebabkan ovulasi abnormal yang mengganggu siklus menstruasi.
Beberapa jurnal penelitian terkait hal diatas seperti jurnal berjudul “Hubungan Antara Tingkat Stres Dengan Siklus Menstruasi Pada Siswi Kelas 2 Di SMA N 1 Kendal oleh Sekar Pinasti, Gunadi, dan Merry Tiyas Anggraini (2012) menyebutkan hasil penelitian didapatkan sebanyak 38 responden (57,6 %) mengalami stres ringan dengan perincian 23 responden (34,8 %) dengan siklus menstruasi yang normal dan 15 responden (22,7 %) dengan siklus menstruasi yang tidak normal (polimenorea dan oligomenorea). Nilai p = 0,012(p< 0,050) dengan kesimpulan, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan siklus menstruasi.
Kemudian, Jurnal berjudul “Hubungan antara stres dan pola siklus menstruasi pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Madya (co-assistant) di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado” oleh Kevin C. Tombokan, Damajanty H. C. Pangemanan, Joice N. A. Engka (2017) dengan hasil penelitian menyebutkan Data penelitian dianalisis dengan uji Spearman Rank Correlation. Hasil uji korelasi antara stres dan pola siklus menstruasi mendapatkan p=0,014 dan r=0,417. Simpulannya, terdapat hubungan moderat yang bermakna antara stres dan pola siklus menstruasi pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Madya (co-assistant) di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado.
Stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap tuntutan beban yang merupakan respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal dan eksternal (stresor). Stres yang berkelanjutan dapat menyebabkan depresi yaitu apabila sense of control atau kemampuan untuk mengatasi stres pada seseorang kurang baik. Menurut dr. Suryo Dharmono, Sp.KJ(K) dari Departemen Psikiatri FKUI prevalensi depresi pada wanita 2 kali lebih tinggi dibanding pria. (Saerang A, 2014). Dalam pengaruhnya terhadap siklus menstruasi, stres melibatkan system neuroendokrinologi sebagai system yang besar peranannya dalam reproduksi wanita (Sriati,2007)
Sehingga stress dapat berdampak ketidakteraturan siklus menstruasi terutama oleh remaja perempuan, bisa berubah menadi gangguan menstruasi. Gangguan menstruasi yang tidak ditangani dapat mempengaruhi kualitas hidup dan aktivitas sehari-hari. Pada sebuah studi yang dilakukan terhadap mahasiswa didapatkan data bahwa sindrom pramenstruasi (67%) dan dismenorea (33%) merupakan keluhan yang dirasakan paling mengganggu. Efek gangguan menstruasi yang dilaporkan antara lain waktu istirahat yang memanjang (54%) dan menurunnya kemampuan belajar (50%) (Sianipar O, 2009).
Upaya solusi yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan siklus menstruasi yaitu mengurangi stres dengan penggunaan mekanisme koping yang baik misalnya dengan mengatur diet dan nutrisi, istirahat dan tidur, berolahraga, berhenti merokok, menghindari minuman keras, mengatur berat badan, mengatur waktu dengan tepat, terapi psikofarmaka, terapi somatik dan terapi religius.
Daftar Pustaka
Virus corona: Peta dan infografis terkait pasien terinfeksi, meninggal dan sembuh di Indonesia dan dunia 9 April 2020, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51850113 Diakses 9 April 2020.
Kemenkes, 2020. Data penyebaran virus covid 19 pada laman https://infeksiemerging.kemkes.go.id/ diakses pada 9 April 2020.
HEADLINE: Usulan Karantina Wilayah Saat Pandemi Corona, Siapkah Indonesia?, 31 Mar 2020,https://www.liputan6.com/news/read/4214900/headline-usulan-karantina-wilayah-saat-pandemi-corona-siapkah-indonesia Diakses 9 April 2020.
Virus corona: ‘Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat’ dan Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang boleh dan tidak boleh, 1 April 2020. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52109439 Diakses 9 April 2020.
Ancaman Gangguan Mental di Tengah Wabah COVID-19, 31 Maret 2020, https://tirto.id/ancaman-gangguan-mental-di-tengah-wabah-covid-19-eJvi. Diakses 9 April 2020.
Sianipar O, Bunawan NC, Almazini P, Calista N, Wulandari P, Rovenska N, dkk. Prevalensi gangguan menstruasi dan faktor-faktor yang berhubungan pasa siswa SMU di Kecamatan Pulogadung Jakarta Timur. 2009.; 59(7):309-310.
Saerang A, Suparman E, Lengkong RA. Hubungan antara stres dengan pola menstruasi pada mahasiswi fakultas kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. 2014;2(3):2
Pinasti Sekar, Gunadi, Merry Tiyas Anggraini. Hubungan Antara Tingkat Stres Dengan Siklus Menstruasi Pada Siswi Kelas 2 Di SMA N 1 Kendal. 2012. 1 (2):47-50.
Sriati A. Tinjauan Tentang Stres. 2007. Available from : http://resources.unpad.ac.id/unpad- content/uploads/publikasi_dosen/TINJAUAN %20TENTANG%20STRES.pdf