Ceritaku Sebagai Champion4Life

Hai, sahabat PILAR!

Perkenalkan, namaku Ipih. Aku bergabung di PILAR PKBI Jawa Tengah sejak tahun lalu. Kali ini, aku mau sedikit bercerita tentang perubahanku selama berproses menjadi Champion4Life.  

Menjadi seorang champion tidaklah mudah, dimana kita harus menjadi role model sekaligus mampu memberdayakan remaja-remaja di sekitar kita. Namun terlepas dari itu, aku senang bisa berkesempatan menjadi bagian dari Champion4Life.  Aku merasakan banyak sekali perubahan, diantaranya adalah pengetahuan seputar isu remaja meningkat, public speaking-ku terasah, serta secara personal menjadi lebih open minded dan banyak relasi.

Pertama, terkait bertambahnya pengetahuan seputar seksualitas remaja, sebelumnya aku tidak pernah mempelajari materi-materi tentang kespro. Bahkan, kepanjangan HKSR (Hak Kesehatan Seksualitas dan Reproduksi) saja nggak tahu sama sekali. Awalnya memang agak asing di telinga, apalagi udah hampir 5 tahun sudah nggak lagi belajar pelajaran IPA, ya karena memang bukan bidang keilmuan aku selama ini. Setauku, materi-materi reproduksi hanya ada pada pelajaran IPA, itu aja cuma sekilas dan tidak menyeluruh. Jadi yang aku tau tentang kespro, ya sebatas alat-alat reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Namun setelah menjadi Champion4Life, aku mulai meng-upgrade pengetahuanku tentang kespro khususnya kespro pada remaja melalui beberapa kali sharing knowladge dan capacity building.

Dari situ, aku menemukan insights ternyata remaja memiliki masalah yang sangat kompleks dalam kehidupannya. Parahnya lagi, keluarga bahkan lingkungan sosialnya kerap tak peka. Kurangnya power dan adanya relasi kuasa orang dewasa membuat remaja enggan  bersuara dan menyampaikan keluh-kesahnya.

Kedua, perubahan drastic yang aku rasakan adalah kemampuan fasilitasi. Cara Champion4Life dalam menyampaikan sangat menentukan feedback maupun pemahaman yang dimiliki para Agent4Change. Sebelumnya, aku nggak tau bedanya guru sama fasilitator, karena menurutku keduanya memiliki peran yang sama, yakni sama-sama mengajari dan transfer pengetahuan. Namun aku salah, ternyata fasilitator itu perannya lebih dari sekedar mengajari dan transfer pengetahuan, tapi juga harus memberdayakan. Nah ternyata selama ini aku sering berperan sebagai guru, Misalnya saat aku diminta sebagai pemantik diskui atau pemateri, disitu aku cenderung menggunakan komunikasi satu arah, aku terlalu asik mentransfer apa yang aku ketahui dengan sesekali aku berperan seolah-olah sedang mengajari siswa yang belum tau sama sekali tentang topik yang aku sampaikan. Ditambah lagi kurangnya kemampuan menghidupkan suasana diskusi, membuat kelas semakin mati.

Aku mulai mengubah metode fasilitasiku dari terkesan menggurui menjadi benar-benar menjembatani.  Sebab, tidak tidak semua audiens seperti gelas yang masih kosong, mereka adalah sosok pembelajar yang aktif. Serta, fasilitator perlu belajar menjadi asik dalam menyampaikan materi melalui selingan ice breaking. Tak hanya itu, aku juga perlu menekan ego untuk tidak terlalu show-off. Ini semua karena ditekankan untuk sadar akan pentingnya memiliki manajemen mental dan fisik yang baik.

Peranan kemampuan public speaking juga penting disini, dulu aku masih kaku banget ketika dihadapkan peserta yang lebih dari sepuluh. Aku bahkan nggak memperhatikan intonasi saat berbicara. Sekarang, aku juga jadi paham kalau sebelum berbicara di depan umum, penting mengenali karakter audiens-nya, apakah anak-anak, orang muda atau mungkin orang tua, sehingga aku bisa menyesuaikan diri. Selain itu, juga penting banget untuk menyiapkan apa saja yang bakal aku sampaikan. Biasanya, aku menulis di kertas kecil yang isinya poin-poin yang akan dibahas. Trik ini efektif agar tetap terstruktur dan mudah dipahami oleh audiens.

Ketiga, aku sangat bersyukur semenjak menjadi champion, aku memiliki kesempatan menjalin relasi dengan siswa-siswi SMA/SMK di Kota Semarang. Aku yang notabenenya mahasiswa jurusan Sosiologi murni jelas nggak ada kaitannya sama sekolah. Namun, selama setahun ini aku bangga melakukan fasilitasi setiap minggunya. Aku semakin banyak kenalan baik itu guru maupun siswa yang aku fasilitasi.

Terakhir, aku belajar tentang banyak hal, mulai belajar dari kehidupan remaja yang aku fasilitasi bahkan belajar dari hidupku sendiri. Aku juga belajar untuk selalu peka dan memperbanyak refleksi diri. Apalagi pada Journey4Life ada tahapan dimana champion mengajak remaja untuk mengenali dirinya sendiri, dari situ aku juga sekalian belajar bagaimana dan sejauh apa aku mengenali diriku sendiri. Terlalu sering berinteraksi dengan remaja juga membuatku terus open minded dan berpikir out of the box. Aku merasa tidak ada  suatu hal yang diragukan dalam hidup ini, karena semua bisa dilakukan dari hal yang sederhana yaitu konsisten menjadi role model agar dapat memberikan manfaat bagi orang lain meski sedikit.

Penulis : Afifathu Rahmah Fajriyah

Editor : Rosta Rosalina

1 comment

  1. Anita Rakhmi

    Juara sejati ini mah, Bunda List yang super keren

Leave A Comment