Sore ini aku dan ibu menghabiskan waktu bersama dengan melakukan perawatan tubuh hanya berdua di dalam rumah. Ya, dalam situasi physical distancing seperti ini memang segalanya harus dilakukan secara mandiri di dalam rumah.
Televisi di kamarku masih menyala. Suara bising kipas juga masih terdengar. Suaranya samar karena kami tak berada di dalam kamar. Kebetulan saat itu acara yang tayang adalah sinema azab.
Ibu sempat kebingungan, cerita apalagi yang sekarang diceritakan. Kujelaskan bahwa dalam sinema itu menceritakan tentang seorang suami yang memiliki dua istri, sementara istri pertamanya tak mau dimadu.
Kata ibu, perempuan itu harus mampu menjadi sosok yang memuaskan suami. Katanya, supaya suami betah di rumah dan tidak jelalatan kesana-kemari. Aku termenung, sepersekian detik melamun. Bibirku tersenyum, tapi rasanya hatiku tersayat mendengar itu.
Lamat-lamat ku katakan, menjadi perempuan itu tak enak! Kenapa ya, perempuan harus menjadi apa yang laki-laki inginkan? Jika demikian, lantas kapan perempuan bisa menjadi apa yang dia inginkan?
Dapat kudengar keputusasaan dari suara ibu yang menjawab dengan pasrah. Ya mau bagaimana lagi, katanya. Sebagai perempuan memang harus begitu.
Tiba-tiba saja aku semakin murung. Entah kenapa aku merasa dunia tidak adil. Bisakah aku berdiri sebagaimana yang aku inginkan kelak? Ataukah mimpiku sebagai perempuan harus terputus karena restu dari seorang lelaki?
Tuhan, pun memang begini takdir yang kau berikan, aku yakin kasih-Mu akan lebih dari yang terbayangkan. Bantu aku untuk mendobrak apa yang selama ini didewakan. Ciptakanlah kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki yang bukan hanya isapan jempol belaka.
Penulis: Lutfilia Pratiwi, Champion4Life Pilar PKBI Jawa Tengah (@lutfilia26)
Editor: Nur Wulan Nugrahani (@wlunarian)