Puan, Misoginis, dan Rumah Tangga

Baru saja aku berdiskusi dengan beberapa rekan mengenai “Setelah menikah, istri lebih baik dirumah atau bekerja”. Jelas saja, aku menjadi tim perempuan berkarir pasca menikah.

Diskusi berjalan cukup seru. Beberapa kali pembicaraan hanya berkutat dengan pemikiran-pemikiran yang patriarkis dan misoginis. Tak ingin ambil pusing sebenarnya, tetapi gerah juga mendengar pendapat-pendapat seperti itu.

Sampai diskusi berakhir dan dilanjutkan dengan pembicaraan ringan. Usut punya usut, lelaki misoginis ini ternyata memiliki pemikiran yang demikian karena role model dan kulturnya memang sangat kental dengan hal itu. Tapi syukurnya, dia masih mau untuk menerima masukan.

Kataku, menikah bukan hanya perihal dua orang manusia beda alat kelamin yang disatukan dalam satu atap. Suami memberi nafkah, istri mengurus rumah tangga, berhubungan seksual, punya anak lalu selesai. Tidak!

Pernah dengar tidak kata-kata jika lelaki sukses akan hidup seolah-olah dia membutuhkan banyak perempuan. Sementara jika perempuan sukses akan hidup seolah-olah dia mampu berdiri sendiri.

Setelah menikah, ada kehidupan baru yang akan kita jaga dan kita rawat. Apabila pemikiran misoginis dan patriarkis ini terus dilanggengkan, lantas bagaimana dengan mental anak-anak kita? Setiap saat akan melihat ibu yang manis, patuh, taat tetapi jiwanya memberontak? Sudahlah, kita tahu sistem yang demikian itu tak baik.

Kita sama-sama tau jika kita sama-sama memiliki kekurangan. Lantas mengapa tak kita coba untuk berjalan bersama, bekerjasama untuk mengisi kekurangan itu? Cukup adil bukan?

Penulis: Lutfilia Pratiwi, Champion4Life Pilar PKBI Jawa Tengah (@lutfilia26)

Editor: Nur Wulan Nugrahani (@wlunarian)

Leave A Comment