Pro Kontra: Kebijakan Kampus Merdeka Ala Nadiem Makarim

Setiap kita berhak mendapat pendidikan | Photo by Agung Pandit Wiguna from Pexels

Kebijakan kampus merdeka merupakan kelanjutan dari kebijakan merdeka belajar. Kebijakan kampus merdeka ditujukan untuk lingkup perguruan tinggi. Dalam kebijakan kampus merdeka, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menjelaskan setidaknya ada empat poin yang menjadi program utama kampus merdeka yaitu (1) Otonomi pembukaan program studi baru, (2) Proses re-akreditasi dilakukan secara otomatis dan sukarela, (3) Syarat menjadi PTN-BH dipermudah, dan (4) Hak belajar tiga semester diluar program studi dan perubahan definisi sks.

Seperti yang dilansir oleh kemdikbud.go.id yang menjelaskan bahwa mendikbud Nadiem Makarim meyakini bahwa perguruan tinggi memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan SDM unggul di Indonesia. Untuk menghadapi tantangan di dunia kerja, diperlukan adanya peningkatan kualitas lulusan S1 di Indonesia. Cara yang bisa dilakukan yaitu dengan mendukung kolaborasi antara universitas dengan berbagai pihak di luar kampus untuk menciptakan prodi-prodi baru.

Program pertama yang diusung oleh Nadiem Makarim dalam Kampus Merdeka yaitu  memberikan otonomi bagi PTN atau PTS untuk membuka program studi baru dengan syarat telah terakreditasi A dan B, serta telah melakukan kerjasama dengan organisasi atau universitas yang masuk ke dalam QS Top 100 World universities. Kerjasama yang dilakukan dengan organisasi-organisasi tersebut mencakup penyusunan kurikulum, praktik kerja dan penyerapan lapangan kerja. Selanjutnya Kemendikbud juga akan bekerjasama dengan perguruan tinggi dan mitra prodi untuk melakukan pengawasan.

Kebijakan kampus merdeka yang kedua adalah program reakreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat. Nantinya akreditasi yang sudah ditetapkan oleh BAN-PT akan tetap berlaku selama 5 tahun dan pengajuan re-akreditasi dapat dilakukan paling cepat 2 tahun setelah mendapatkan akreditasi yang terakhir kali.

Kemudian kebijakan yang ketiga adalah Kemendikbud akan mempermudah persyaratan PTN BLU (Badan Layanan Umum) dan Satker (satuan Kerja) untuk menjadi PTN BH (Badan Hukum) tanpa terikat status akreditasi.

Selain itu kebijakan kampus merdeka yang keempat adalah  memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah diluar prodi dan merubah definisi satuan kredit semester (SKS). Kemendikbud menilai saat ini bobot sks untuk kegiatan pembelajaran diluar kelas sangat kecil dan tidak mendorong mahasiswa untuk mencari pengalaman baru. Sehingga diperlukan satu perubahan dalam kebijakan di dalam kampus. Kemudian pengertian sks dari “jam belajar” diubah menjadi “jam kegiatan”, artinya sks dapat berupa kegiatan belajar dikelas, magang atau kerja praktek di industri atau organisasi, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset, studi independen, maupun kegiatan mengajar didaerah terpencil dengan syarat mendapat bimbingan langsung dari dosen.

Mengenai program baru yang diusung oleh Nadiem Makarim, masyarakat sedikit demi sedikit mulai berdiskusi terkait program tersebut. Pro dan dan kontra pun bermunculan di tengah masyarakat. Mereka yang pro mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut dapat mendorong para mahasiswa yang kurang mempunyai skil dan wawasan menjadi lebih berkembang potensinya dengan mengikuti kegiatan diluar kampus. Disamping kegiatan belajar mengajar di kelas, mahasiswa dituntut untuk mampu berinteraksi dengan baik di masyarakat. Maka dari itu mahasiswa perlu mengambil prodi diluar dari kampusnya, agar mahasiswa tersebut dapat memperbanyak wawasan dan pengalaman untuk membuka skill yang ada didalam diri mereka.

Selain mereka yang pro terhadap kebijakan Kampus Merdeka, banyak juga diantara mereka yang tidak setuju dan memandang sebagai hal yang negatif atau tidak memiliki manfaat yang optimal bagi mahasiswa. Program ini banyak diragukan di kalangan mahasiswa karena mengubah cukup banyak hal fundamental dalam pendidikan di perguruan tinggi, salah satunya kurikulum. Selain itu harus ada pengaturan yang jelas bagi perusahaan yang membuka pemagangan bagi mahasiswa nantinya. Hal tersebut menandakan adanya kekhawatiran bahwa program magang yang dicanangkan justru malah menjadi alat bagi industri untuk mendapatkan tenaga kerja murah.

Program baru yang memberikan otonomi kepada kampus untuk membuka program baru yang sudah harus bekerja sama dengan organisasi dinilai berdekatan dengan pendekatan pasar, artinya mahasiswa ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan industri. Selain itu jam belajar yang diganti menjadi jam kegiatan memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk magang selama 2 semester. Padahal magang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dimaksudkan untuk pelatihan kerja dan peningkatan kompetensi kerja, bukan tujuan akademik dan penuhan kurikulum atau persyaratan suatu profesi tertentu. Kemudian mengenai jangka waktu pemagangan paling lama satu tahun, jika lebih dari satu tahun maka harus dituangkan dalam perjanjian pemagangan baru dan dilaporkan kepada dinas kabupaten atau kota setempat (Pasal 7 ayat 4 dan ayat 5 Kepmenakertrans No. 22/2009).

Kemudian terkait kebijakan yang mempermudah perubahan PTN BLU dan Satker menjadi Badan Hukum (BH) sebaiknya perlu ditinjau kembali. Seperti yang sudah diketahui PTN yang Berbadan Hukum harus mempunyai sumberdaya sendiri untuk menjalankan perkuliahan termasuk dalam hal fasilitas, karena tidak ada lagi campur tangan pemerintah dalam perjalanannya. Ketika PTN sudah berbadan hukum otomatis biaya perkuliahan akan tinggi karena untuk menunjang fasilitas di kampus. Sedangkan pemerintah tidak bisa ikut campur dalam menentukan kebijakan. Jadi kebijakan ini dinilai akan sangat merugikan bagi masyarakat miskin yang akan kesulitan untuk menjangkau biaya perguruan tinggi yang semakin mahal.

Penulis : Mauliana Maghfiroh, UIN Walisongo Semarang

Editor : Zunari Hamro, Nur Wulan Nugrahani (Pilar PKBI Jawa Tengah)

Leave A Comment