(Analisis Teori Dramaturgi Erving Goffman pada Praktek Menikah Muda)
“Dunia ini, panggung sandiwara”
Hayo ngaku siapa yang baca tulisan itu sambil nyanyi? Lagu yang dipopulerkan Band Godbless itu ngena banget di realita hidup kita. Bagaimanapun tidak bisa dipungkiri kalau hidup kita bisa diibaratkan dalam sebuah panggung, pasti ada panggung depan yang ditampakkan pada dunia luar dan belakang panggung dimana tidak semua orang dapat melihat, kira kira begitu pendapat Erving Goffman dalam teori dramaturginya.
Nahh.. kali ini kita ini bakal ngebahas fenomena panggung depan dan panggung belakang di media sosial. Bukan hanya di kehidupan nyata, kehidupan media sosial juga lekat dengan “dua panggung” tersebut lebih tepatnya fenomena ke-uwu-an yang kita saksikan bersama di media sosial terkait selebgram yang menikah muda, yang biasanya diawali dengan perkenalan singkat lewat ta’aruf lalu memutuskan menikah. Bukan bermaksud untuk menyudutkan pihak manapun, tapi yok kita coba lihat, dibalik ke-uwu-an itu ada dong hal yang mesti kita perhatiin kalo kita mau ikut-ikutan. Setuju tydaaaa?
Nikah muda belakangan ini menjadi tren populer di sosial media, terutama di instagram. Pemicunya adalah hadirnya beberapa influencer berusia muda (bahkan di bawah umur 19 tahun) yang sudah melangsungkan pernikahan dan kerap mengunggah gambaran ‘indahnya’ kehidupan berumah tangga yang mereka jalani. Begitu juga tagar #relationshipgoals pun gempar memenuhi kolom komentar mereka. Nikah muda seakan menjadi tren kekinian terhangat di kalangan para anak muda. ‘Tren’ ini menjadi salah satu penyebab data pada Child Marriage Reporthasil kerjasama BPS dengan UNICEF tahun 2018, bahwa 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia sudah menikah. Perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018 diperkirakan mencapai 1.220.900 orang dan angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia di tahun 2020. Uwu sih, tapi.. yakin kalau kehidupan nikah muda itu 100% menyenangkan dan layak dijadikan sebagai tujuan hidup?
Usia remaja umumnya belum memiliki banyak pengalaman untuk menghadapi hal-hal besar seperti menikah dan berumah tangga. Kedewasaan pun juga menjadi tolok ukur yang patut dipertanyakan pada mereka yang berusia muda sebelum melaju ke jenjang pernikahan. Nikah muda tidak selalu berujung bahagia karena terdapat banyak hal yang perlu dipertimbangkan di balik semua keindahan itu.
Sebenarnya praktek nikah muda memiliki dampak yang lumayan serem seperti: secara biologis alat reproduksi belum siap untuk melakukan seks, menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak, ada juga risiko stunting terhadap anaknya, begitu juga dari sisi ekonomi. Lalu jika keadaan rumah tangga mereka tidak bahagia dapat berakhir pada terjadinya perceraian. Inilah penyebab angka perceraian melonjak tinggi. Ada juga risiko stunting terhadap anaknya karena gizi yang seharusnya dibutuhkan si ibu karena masih dalam masa pertumbuhan sebagai remaja harus dibagi dua dengan anak ketika sedang hamil dan menyusui. Begitu juga dari sisi ekonomi ketika remaja belum memiliki penghasilan yang stabil untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga bisa mengakibatkan konflik dan berakhir dengan angka perceraian melonjak tinggi. Belum lagi ancaman kekerasan terhadap perempuan. Remaja tuh kan emosi nya masih belum bisa stabil, agak serem juga kalau nggak bisa kontrol emosi lalu berakhir menyakiti pasangannya. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2019 tercatat sebanyak 421.752 kasus terhadap perempuan, di antaranya kekerasan terhadap istri yang merupakan penyebab terjadinya perceraian.
Oke guys, jadi sekarang kita tahu nih kalau tidak semua orang punya kondisi yang sama dengan selebgram atau influencer terutama dalam hal ekonomi. Kalau misal mengikuti tren nikah muda karena ikut-ikutan… Ini nih yang harus diwaspadai. Kalau alasannya untuk menghindari zina? Heyy teman… untuk menghindari zina dalam hadits sudah dijelaskan, ”Wahai sekalian pemuda, siapapun diantara kalian yang telah mampu menikah maka menikahlah karena menikah itu bisa menjaga pandangan dan menjaga kemaluan. Jika kalian belum mampu maka banyak-banyaklah berpuasa, karena puasa itu perisai (terhadap syahwat)”. Misalnya tidak puasa pun bisa dialihkan dengan hal-hal yang baik seperti belajar, bekerja dan lainnya.
Menikah itu bukan hanya berhenti di hubungan seksual saja lho. Ada tanggung jawab untuk membina bahtera rumah tangga dengan siap secara fisik, mental, finansial, dan masih banyak lagi. Jika tidak dibarengi dengan kesiapan, kehidupan rumah tangga pasangan muda justru bisa berujung tragis. Seperti yang dialami sepasang suami istri influencer yang bercerai di bulan ketiga pernikahannya.
Lalu sebenernya usia pernikahan menurut negara itu gimana sih? Usia minimal pernikahan Indonesia telah diatur dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diatur sejak 15 Oktober 2019. Dalam aturan undang-undang tersebut terdapat poin yakni:
1. Perkawinan hanya berprestasi pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun (pasal 1 ayat 1).
2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan yang merupakan orang yang dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan atau orang yang pihak wanita dapat meminta kompensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat bukti-bukti pendukung yang cukup (pasal 1 ayat 2)
3. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
Pemerintah menyepakati batas usia perempuan melalui revisi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Sehingga siapa pun yang masih berusia di bawah 18 tahun masih termasuk kategori anak-anak.
Jika bercermin pada dampak sebagaimana disebutkan di atas, maka kebijakan pemerintah melarang perkawinan di bawah umur merupakan langkah yang tepat. Sebab ini merupakan sebuah upaya untuk menciptakan keamanan dan kesejahteraan bagi manusia baik secara individu maupun secara sosial.
Pada kenyataannya, proses ta’aruf sering disalahpahami. Hubungan sering diukur pada sukses atau tidaknya lanjut ke pelaminan. Padahal kan tidak begitu. Kata taaruf menjadi istilah yang digunakan untuk menyebut suatu proses perkenalan yang bertujuan untuk pernikahan. Padahal tujuannya tidak jauh beda dengan pacaran yaitu untuk saling mengenal, tapi dengan cara yang berbeda. Pada akhirnya, banyak yang harus disiapkan untuk membina hubungan yang sehat dan saling bermanfaat. Setuju kan guys?
Referensi:
- Child Marriage Report 2020 kerjasama BPS, Kementrian PPN /Bappenas dan UNICEF.
- Yuspa Hanum dan Tukiman, Dampak Pernikahan Dini Terhadap Alat Kesehatan Reproduksi Wanita, Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera Vol. 13 (26) Des. 2015
- Damayanti Ira. 2012. Gambaran remaja putri tentang dampak pernikahan dini pada kesehatan reproduksi siswi kelas XI di SMK BATIK 2 Surakarta. Skripsi. Surakarta
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-dan-lembar-fakta-komnas-perempuan-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2020 diakses pada 22 September 2020 pukul 11.03 WIB
Photo by Jasmine Carter from Pexels
Penulis: Wiwit Nur Laila (Ma’had Aly Maslakul Huda Kajen Pati)
Editor: Nur Wulan Nugrahani (Pilar PKBI Jawa Tengah)