Mengenal Inses dan Mekanisme Pertahanan Diri

Sejak dilahirkan, manusia akan terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Baik secara fisik, mental, maupun persepsi. Salah satu periode tumbuh kembang yang paling dinanti—sekaligus menjadi problem mengkhawatirkan—adalah masa remaja.

            Pada masa ini, individu mulai mengalami perubahan bentuk dan tampilan tubuh (pubertas) serta munculnya hasrat seksual (libido) karena pengaruh hormon. Pada saat yang sama, tingkat keingintahuan individu kian meningkat. Ingin mencoba banyak hal baru dan menantang, tetapi enggan ditegur, diatur, dikekang, dan dibatasi. Suatu kombinasi yang rentan menjerumuskan remaja pada seks bebas apabila tidak diimbangi dengan edukasi yang memadai.

            Pendidikan seks bukan hanya soal fungsi bagian tubuh atau cara memanajemen hasrat seks agar tidak mengarah ke hal-hal negatif. Namun, juga memberikan kesadaran bahwa remaja semakin rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual.

            Dilansir dari tribunnews.com (5/6/2021), menurut laporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) hingga 3 Juni 2021, terdapat 3.122 kasus kekerasan terhadap anak dan didominasi oleh kasus kekerasan seksual. Mirisnya, tidak sedikit dari kasus yang dilakukan oleh keluarga kandung (perkosaan inses).

            Seperti kasus pencabulan di Aceh yang baru-baru ini menghebohkan masyarakat karena terdakwa MA (ayah kandung korban) dibebaskan oleh Mahkamah Syar’iyah (MS) Jantho dan tidak terbukti melakukan inses. Kabar baiknya, Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan permohonan kasasi dari penuntut umum dan menghukum MA dengan 200 bulan penjara. Kendati pelaku telah mendapat hukuman berat, tetap saja tidak mampu mengobati gangguan fisik dan psikis korban.

            Ada pula perkosaan inses di Pesanggrahan yang sudah berlangsung selama 5 tahun. Korban yang berusia 9 tahun (hingga 13 tahun) diajak tidur dalam satu ranjang, dimandikan, dan diminta memijit yang menimbulkan gairah ayah (pelaku). Jika tidak menurut, korban diancam akan dipukul. Di Sidoarjo, seorang anak digerayangi setiap tidur dan disetubuhi oleh ayahnya saat sang ibu (istri pelaku) bekerja. Jika melapor, pelaku mengancam akan membunuh korban, ibu, dan adiknya.

            Selain pada lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan tempat ibadah—yang seharusnya aman, melindungi, dan mendidik remaja—pun patut diwaspadai. Dilansir dari tempo.co, guru agama tega mencabuli 5 siswinya dengan iming-iming uang Rp 5.000 — Rp 20.000. Ada juga kasus pelecehan yang terjadi di pesantren dan gereja.

            Miris bukan? Tentu masih banyak kasus yang tidak tercantum. Bahkan, ada lebih banyak lagi kasus pelecehan dan perkosaan anak yang tidak terdata (karena tidak melapor atau sengaja ditutupi). Penulis tidak bermaksud menyebarkan ketakutan atau mengumbar aib korban. Sebaliknya, betapa bahayanya lingkungan sekitar (termasuk keluarga dan institusi pendidikan) harusnya membuat kita lebih peduli, berhati-hati, dan waspada.

            Sebagai sesama manusia—dan sesama remaja—mau tidak mau kita harus lebih melek dengan kasus-kasus seperti yang telah disebut sebelumnya. Selain untuk membentengi agar lebih mawas diri, juga untuk memahami bahwa di luar sana, peri kemanusiaan dan keadilan sedang dipertaruhkan dan dipertanyakan esensinya.

            Jika ada yang bertanya, “Kenapa kita harus peduli? Toh, kita tidak mengenal para korban.” Pertama, karena dampak yang dialami korban pelecehan seksual tidaklah main-main. Secara fisik, ia dapat terkena Penyakit Menular Seksual (PMS), masalah reproduksi, luka akibat kekerasan oleh pelaku, bahkan melukai diri karena merasa bentuk tubuhnya telah mengundang nafsu pelaku.

            Dari segi psikis, korban mengalami trauma mendalam. Krisis kepercayaan diri, menganggap semua lelaki (bahkan perempuan juga) jahat, terasingkan, tidak layak berada di lingkungan sosial, merasa tidak becus menjaga diri, dan serangan mental lain yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kalimat motivasi. Belum lagi jika hamil dan harus merawat bayi saat kondisi fisik dan psikisnya belum siap.

            Kedua, siapapun berpotensi menjadi korban dan pelaku. Salah satu penyebab korban terjebak dalam perkosaan inses—pada beberapa kasus telah berlangsung selama bertahun-tahun—karena mereka merasa pelaku adalah keluarga kandung. Orang terdekat yang senantiasa melindungi, tidak mungkin jahat, dan setiap sentuhannya merupakan wujud ekspresi kasih sayang. Setelah memahami bahwa selama ini menjadi korban pelecehan, mereka sudah “telanjur” terjebak dan (kebanyakan) tidak memiliki daya maupun dukungan untuk melapor dan speak up.

            Lantas, apa yang harus dan bisa kita lakukan?

            Sebagai individu, kita harus mulai memahami otoritas anggota tubuh. Dapat membedakan bagian tubuh yang boleh disentuh orang lain, tetapi tetap harus hati-hati (tangan); tidak boleh disentuh orang lain (mulut, dada, alat kelamin, dan pantat); serta yang bagi sebagian orang mungkin kurang suka disentuh tanpa izin (kepala, wajah, leher, pundak, perut, dan kaki).

            Setelahnya, kita harus tegas mengatakan”TIDAK” apabila ada orang lain (termasuk anggota keluarga kandung) yang menyentuh, baik dengan maksud sensual maupun tidak. Jangan pernah percaya secara penuh (100%) kepada orang lain, siapapun itu. Selain itu, juga harus tegas menolak ajakan dari orang asing, menuju ke tempat asing, atau melakukan hal yang mengarah ke aktivitas seksual. Jika (calon) pelaku masih memaksa atau mengancam, segera lakukan mekanisme pertahanan diri (bela diri, lari, dan teriak). Pastikan arah lari tidak menuju tempat sepi.

            Sebagai manusia, kita harus mulai membuka mata bahwa problem umat manusia adalah problem kita juga. Secara pasif, kita dapat membantu korban dengan tidak menghina, menyalahkan, mengucilkan, dan sekadar kepo (tanpa empati) kepada korban. Secara aktif, kita dapat mengampanyekan pentingnya pendidikan seks di dunia nyata maupun maya, membantu korban pelecehan dan kekerasan seksual, serta memberi dukungan penuh kepada korban.

            Sebagai korban, ini yang agak sulit. Tak dapat ditampik, menjadi korban pelecehan di usia dini—remaja pasti meninggalkan rasa sedih, kecewa, marah, takut, semua bercampur menjadi tak keruan. Rasanya, berpikir secara rasional dan menumbuhkan harapan yang telah padam adalah hal mustahil. Namun, kejadian tersebut termasuk takdir yang sepenuhnya berada di luar kendali kita. Bahkan, bagi yang sudah berusaha menjaga diri semaksimal mungkin.

            Kita hanya bisa fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali kita: manajemen emosi, berusaha melanjutkan hidup, melaporkan kejadian kepada pihak berwenang, dan berdamai dengan keadaan. Terdengar sulit, sangat sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin dapat dilakukan. Bukankah terus-menerus terpuruk dan meratapi keadaan, menyalahkan takdir Tuhan, atau mengubah diri menjadi jahat kepada semua orang adalah hal yang sia-sia karena tidak menyelesaikan masalah? Fokus mencari solusi lebih utama dilakukan pada situasi seperti ini.

            Jika memang merasa tidak mampu berjuang ‘sendirian’, kita dapat menghubungi komunitas atau lembaga yang dengan senang hati membuka tangan lebar-lebar untuk memeluk dan melindungi. Seperti Sahabat Perempuan dan Anak dengan call center 129. Sedangkan untuk wilayah Semarang dan sekitarnya dapat menghubungi PILAR PKBI Daerah Jawa Tengah (082242689694), LBH APIK Semarang (089668505990), atau DPPPA Semarang (081511652358).

Penulis: Rizkyana Maghfiroh

Kuliah: UIN Walisongo Semarang

Jurusan: Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) tahun 2019

Leave A Comment