Perspektif Media Kepada Korban Kekerasan Seksual

Kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia setiap tahunnnya mengalami peningkatan, lho. Berdasarkan CATAHU yang di dalamnya memuat pengaduan langsung, kajian dan pemantau KOMNAS Perempuan pada tahun 2020, tercatat 431.471 kasus kekerasan perempuan. Sebanyak 406.178 kasus sudah di tangani sepanjang tahun 2019 mengalami kenaikan sebesar 6% dari tahun sebelumnya.

Media merupakan salah satu platform yang digunakan untuk menyebarkan berita atau informasi mengenai kekerasan terhadap perempuan sering kali menjadi berita yang menarik, nih. Tiras berita akan meningkat jika ada unsur yang membuatnya naik, salah satu unsur tersebut adalah seks. Tak heran jika berita kekerasan banyak diminati khalayak. Hasil analisa yang dilakukan KOMNAS Perempuan mengenai pemeberitaan kekerasan seksual adalah 45% berita mengenai pemerkosaan, 34% mengenai pelecehan seksual, dan 10% perdangan perempuan dengan tujuan seksual.

Masih banyak media yang memberitakan kasus kekerasan yang dialami perempuan akan tetapi tidak berpihak pada korban. Pemeberitaan yang terjadi justru malah mengeksploitasi korban, akses informasi korban terbuka kepada publik, kemudian membuat judul yang menggiring opini masyarakat bahwa “korban” layak dan pantas mendapat kekerasan.

Dari data komnas perempuan pada tahun 2015 sebanyak 9 media yang melakukan pelanggaran kode etik dan hak korban. Dalam Kode Etik Jurnalistik ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers).

Eh, dalam kode etik tersebut mencakup hal umum dan profesional seorang jurnalistik saat membuat media yang memberitakan informasi yang seharusnya membuat kaidah-kaidah jurnalistik tersebut, lho. Ada beberapa pasal yang harus berkaitan secara langsung saat memberikatakan kasus pelecehan atau kekerasan dan eksploitasi seksual. Pasal- pasal tersebut adalah :

  1. Pasal 2, Wartawan Indonesia Menempuh Cara yang Profesional dalam Melaksanakan Tugas Jurnalistik.
  2. Tidak diperkenankan untuk merekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara seimbang.
  3. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara.
  4. Pasal 4, Wartawan Indonesia Tidak Membuat Berita Bohong, Fitnah, Sadis, dan Cabul.
  5. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
  6. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
  7. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
  8. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
  9. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
  10. Pasal 8, Wartawan Indonesia Tidak Menulis atau Menyiarkan Berita berdasarkan Prasangka atau Diskriminasi terhadap Seseorang atas dasar Perbedaan Suku, Ras, Warna Kulit, Agama, Jenis Kelamin, dan Bahasa, serta Tidak Merendahkan Martabat Orang Lemah, Miskin, Sakit, Cacat Jiwa atau  Cacat Jasmani.
  11. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
  12. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Dalam pasal ini maka pemberitaan dengan muatan prasangka dan diskriminasi kepada perempuan sangat dilarang.

Seharusnya media menaati kode etik jurnalistik yang tertulis diatas agar hak korban kekerasan seksual terpenuhi haknya dan tidak menggiring opini masyarakat bahwa sebuah kekerasan terjadi karena korban memang layak untuk menerima perilaku tersebut.

Penulis: Putri Intan Lestari, Mahasiswa Universitas Ngudi Waluyo

Editor: Nikita Azalea, Relawan PILAR PKBI Jawa Tengah

Sumber :

https://komnasperempuan.go.id/
https://media.neliti.com/media/publications/108131-ID-analisi-isi-kekerasan-seksual-dalam-pemb.pdf

Leave A Comment